Penulis : Douglas Panit, S.IP

Pegiat Literasi/Eks Ketua PWI Minahasa Selatan 

GELOMBANG kritik atas kinerja minor Legislatif membuncah belakangan ini. Aksi protes sana-sini warga sipil itu bukan lahir tanpa rahim, atau tiba-tiba jatuh dari langit tapi sebuah proses refleksi panjang yang memuakkan atas potret buram institusi legislatif. Lembaga representasi yang kita terbiasa menyebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) secara teoretis merupakan episentrum kedaulatan rakyat, tempat aspirasi publik dirumuskan menjadi undang-undang. Namun, dalam praktiknya, komposisi penghuninya semakin jauh dari representasi rakyat jelata. Mayoritas kursi kini diduduki oleh individu-individu yang lahir dari persilangan dua kekuatan dominan: oligarki ekonomi dan politik dinasti, sebuah realitas yang mengancam untuk membajak makna demokrasi itu sendiri.

Secara kasat mata, profil legislator kita telah bergeser. Bukan lagi aktivis, cendekiawan, atau tokoh masyarakat dengan rekam jejak pengabdian publik yang menonjol, melainkan para pewaris takhta politik dan ekonomi. Mereka adalah anak atau istri kepala daerah, konglomerat yang “turun gunung”, atau profesional yang karier politiknya didanai sepenuhnya oleh cukong. Ironi bukan?

Fenomena ini menandakan adanya fusi antara modal ekonomi dan modal politik, di mana tiket menuju parlemen tidak lagi diukur dari kompetensi atau integritas, melainkan dari besarnya kapital dan kuatnya relasi kekuasaan yang dimiliki. Dalam analisis politik, kondisi ini dijelaskan dengan gamblang oleh teori oligarki yang dipopulerkan oleh Jeffrey Winters.

Menurutnya, tujuan utama kaum oligarki dalam berpolitik bukanlah memperjuangkan sebuah ideologi, melainkan “pertahanan kekayaan” (wealth defense). Parlemen, bagi mereka, bukanlah arena adu gagasan untuk kemaslahatan publik, melainkan sebuah benteng strategis untuk mengamankan dan melipatgandakan aset bisnis mereka. Dengan menempatkan proksi atau bahkan diri mereka sendiri di badan legislatif, mereka dapat secara langsung memengaruhi pembuatan undang-undang yang menguntungkan imperium bisnisnya, mulai dari regulasi sumber daya alam, perpajakan, hingga ketenagakerjaan. Padahal dalam konsep demokrasi deliberatif yang dianut alam demokrasi Indonesia menuntut wakil rakyat mampu merefleksikan aspirasi dan kepentingan masyarakat luas secara inklusif. Namun, dengan dominasi oligarki, demokrasi praktis ini melemah, sehingga kebijakan yang dihasilkan lebih cenderung menguntungkan segelintir elit ketimbang masyarakat umum.

Fenomena ini diperkuat oleh menguatnya politik dinasti, yang dapat dilihat sebagai manifestasi dari neo-patrimonialisme. Dalam sistem ini, jabatan publik tidak lagi dipandang sebagai amanah, melainkan sebagai aset keluarga yang bisa diwariskan. Seorang kepala daerah yang berkuasa akan memuluskan jalan bagi istri, anak, atau kerabatnya untuk merebut kursi legislatif. Tujuannya jelas: menciptakan ekosistem kekuasaan yang tertutup dan saling melindungi, memastikan bahwa akses terhadap sumber daya negara tetap berada dalam genggaman lingkaran keluarga dan kroni mereka. Akibatnya, terjadi defisit kompetensi yang parah di dalam parlemen. Ketika kualifikasi utama untuk menjadi legislator adalah koneksi dan modal, maka pemahaman mendalam tentang tata kelola negara, kompleksitas hukum, dan ekonomi kerakyatan menjadi nomor dua. Banyak di antara mereka yang terpilih tidak memiliki visi kenegaraan yang utuh. Mereka mungkin fasih dalam retorika kampanye, tetapi gagap ketika dihadapkan pada perumusan kebijakan yang substantif dan berpihak pada kepentingan jangka panjang bangsa. DPR pun berisiko menjadi lembaga yang sekadar menjalankan fungsi prosedural tanpa kedalaman substansi.

Secara teori, elite capture ini adalah bentuk dominasi kelompok kecil yang mengontrol sumber daya dan kekuasaan negara untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Dalam konteks DPR RI, oligarki memberikan modal besar agar kader keluarganya terpilih, lalu kebijakan disusun demi menjaga dan memperbesar pengaruh tersebut.

Kenyataan pahit ini, sayangnya, difasilitasi oleh perilaku pragmatis sebagian besar masyarakat pemilih di Indonesia. Dalam kerangka teori patron-klien (patron-client relationship), pemilih yang hidup dalam kerentanan ekonomi cenderung membuat pilihan rasional jangka pendek. Tawaran uang tunai, sembako, atau janji proyek kecil di tingkat lokal terasa lebih nyata dan mendesak daripada janji-janji abstrak tentang reformasi kelembagaan atau pemberantasan korupsi.

Para politisi yang didanai oligarki dengan mudah mengeksploitasi pragmatisme ini lewat “politik uang” yang masif, mengubah suara rakyat menjadi komoditas yang bisa dibeli. Ini bukan sekedar ilusi belaka tapi memang menjadi realitas buram dari kondisi demokrasi kita. Dampak paling destruktif dari proses ini adalah terjadinya “pembajakan negara” atau state capture. Kebijakan yang lahir dari rahim parlemen yang dikuasai oligarki secara inheren akan bias. Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial, revisi Undang-Undang Minerba yang mempermudah konsesi tambang, atau kebijakan impor yang menguntungkan segelintir pemain besar adalah contoh nyata bagaimana produk legislasi lebih mencerminkan kepentingan pemodal ketimbang kepentingan buruh, petani, atau lingkungan hidup. Suara rakyat yang seharusnya menjadi pertimbangan utama, kini tenggelam oleh lobi-lobi korporasi di ruang-ruang rapat tertutup.

Secara sosial, fenomena ini melanggengkan ketimpangan yang ekstrem. Ketika kebijakan publik secara sistematis menguntungkan kelompok terkaya, jurang antara si kaya dan si miskin akan semakin dalam. Akses rakyat terhadap pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang layak, dan pekerjaan yang sejahtera menjadi terhambat karena alokasi anggaran dan prioritas pembangunan lebih diarahkan untuk melayani agenda para oligarki. Keadilan sosial sebagai amanat konstitusi pun hanya menjadi slogan kosong. Pada akhirnya, kita terjebak dalam sebuah lingkaran setan. Oligarki mendanai politisi dinasti yang minim kompetensi. Politisi ini terpilih berkat pragmatisme pemilih yang dieksploitasi melalui politik uang. Setelah di parlemen, mereka menghasilkan kebijakan yang memperkaya oligarki dan memiskinkan rakyat. Kondisi rakyat yang semakin sulit membuat mereka kian rentan terhadap politik uang pada pemilu berikutnya. Siklus ini terus berulang, menggerogoti demokrasi dari dalam hingga hanya menyisakan cangkangnya.

Memutus lingkaran ini memerlukan upaya luar biasa. Diperlukan reformasi serius terhadap undang-undang pemilu dan pembiayaan politik untuk membatasi cengkeraman modal. Namun, yang lebih fundamental adalah penyadaran dan pendidikan politik secara masif kepada masyarakat. Selama rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi masih menukar suara mereka dengan kepentingan sesaat, maka selama itu pula Senayan akan tetap menjadi benteng kokoh bagi para oligarki, bukan rumah yang nyaman bagi seluruh rakyat Indonesia.

Putusan MK Momentum Reformasi Sistem Politik

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengamanatkan pemisahan antara pemilihan umum nasional (Pileg dan Pilpres) dan pemilihan umum lokal (Pilkada) adalah sebuah langkah monumental. Terlepas dari bayangan kontroversi yang dianggap inkonstitusional dari banyak kalangan dan melahirkan protes, tapi putusan MK ini selayaknya dimaknai sebagai ruang sekaligus peluang untuk melakukan radikal break terhadap sistem politik. Ini bukan sekadar perubahan teknis jadwal pemilu, melainkan sebuah ketukan palu yang berpotensi menjadi pintu gerbang menuju reformasi sistem politik dan pemerintahan yang paling mendasar di Indonesia sejak era Reformasi. Dampaknya jauh melampaui sekadar efisiensi penyelenggaraan, karena ia memaksa kita untuk menata ulang arsitektur legislasi yang menjadi fondasi demokrasi kita.

Keseriusan dampak putusan ini terlihat dari efek domino yang dihasilkannya terhadap kerangka perundang-undangan. Keputusan ini secara inheren mewajibkan adanya revisi serentak dan harmonis terhadap setidaknya empat undang-undang krusial:

UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu: Sebagai pusat dari sistem pemilu serentak lima kotak suara, UU ini harus dirombak total untuk mengakomodasi model pemilu nasional yang terpisah dari pemilu lokal. Ini menyangkut desain surat suara, alokasi waktu kampanye, hingga rekapitulasi suara yang harus disesuaikan.

UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada: UU ini akan menjadi landasan utama bagi penyelenggaraan pemilu lokal yang serentak secara nasional. Desainnya harus memastikan bahwa Pilkada menjadi ajang politik yang fokus pada isu-isu daerah, bukan lagi sekadar perpanjangan tangan atau “pemanasan” dari kontestasi politik nasional.

UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3): Pemisahan pemilu legislatif nasional (DPR/DPD) dan lokal (DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota) akan mengubah dinamika dan sinkronisasi kelembagaan. Bagaimana mekanisme pelantikan, penentuan pimpinan, dan masa jabatan diatur agar tidak terjadi tumpang tindih atau kekosongan wewenang menjadi pertanyaan yang harus dijawab melalui revisi UU MD3.

UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah: Inilah jantung dari reformasi yang sesungguhnya. Ketika Pilkada (pemilihan eksekutif dan legislatif daerah) dijalankan secara terpisah, fokus politik akan sepenuhnya tertuju pada isu-isu lokal. Hal ini akan memperkuat hubungan antara kepala daerah, DPRD, dan konstituennya. Revisi UU Pemda diperlukan untuk mempertegas otonomi, akuntabilitas, dan mekanisme check and balances yang lebih efektif di tingkat daerah, yang selama ini sering kali terdistorsi oleh kepentingan politik nasional.

Memutus Dominasi Oligarki dan Politik Dinasti

Selama ini, pemilu serentak dengan lima surat suara telah terbukti menciptakan sistem politik yang berbiaya sangat tinggi, rumit, dan terlalu terpusat pada figur calon presiden. Akibatnya, yang diuntungkan adalah para elite yang memiliki modal finansial raksasa dan jaringan kuat—inilah yang kita kenal sebagai kapitalisasi oligarki. Calon legislatif, terutama di daerah, lebih sering “mendompleng” popularitas capres dan partai di tingkat nasional ketimbang menawarkan gagasan konkret untuk daerah pemilihannya.

Sistem ini juga menyuburkan politik dinasti, di mana kekuatan politik diwariskan berdasarkan garis keturunan, bukan kompetensi. Kompleksitas pemilu membuat pemilih cenderung memilih nama yang sudah dikenal, terlepas dari rekam jejak dan kapasitasnya.

Pemisahan pemilu secara mendasar mengubah arena ini:

Fokus pada Isu Lokal: Pemilu lokal yang terpisah memaksa calon kepala daerah dan anggota DPRD untuk beradu gagasan tentang masalah nyata di daerahnya: jalan rusak, kualitas pendidikan, layanan kesehatan, atau potensi ekonomi lokal. Isu-isu ini tidak akan lagi tenggelam oleh hiruk pikuk Pilpres.

Rasionalitas Pemilih: Pemilih akan memiliki ruang dan waktu yang lebih jernih untuk mengevaluasi rekam jejak dan program kandidat lokal. Mereka tidak lagi dibebani dengan lima pilihan kompleks dalam satu waktu, sehingga keputusan politiknya menjadi lebih rasional dan terukur.

Menekan Biaya Politik: Meskipun masih memerlukan biaya, fokus kampanye yang lebih sempit pada isu lokal berpotensi menekan biaya politik yang “brutal”. Ini membuka peluang bagi kandidat-kandidat alternatif yang kompeten namun tidak memiliki modal besar untuk bisa bersaing secara adil.

Tantangan ke Depan: Mengawal Reformasi Sejati

Putusan MK ini adalah sebuah momentum emas. Namun, ia bukanlah solusi otomatis. Tantangan terbesar kini berada di tangan DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang. Proses revisi keempat UU tersebut akan menjadi arena pertarungan politik yang sesungguhnya.

Apakah para elite politik rela melepaskan zona nyaman yang selama ini menguntungkan oligarki dan dinasti? Ataukah mereka akan merancang aturan turunan yang justru mengebiri semangat reformasi dari putusan MK ini?

Oleh karena itu, publik, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil harus mengawal ketat proses legislasi ini. Putusan MK telah membukakan gerbangnya; tugas kita bersama adalah memastikan bahwa jalan di baliknya benar-benar menuju sebuah sistem politik yang lebih sehat, akuntabel, dan substantif bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)