MANADO — Persoalan penerbitan faktur pajak fiktif kini memasuki babak baru. Dimana, dalam lampiran salah satu surat permohonan pengurangan atau pembatalan surat keterangan pajak yang tidak benar pasal 36 ayat (1) huruf b undang-undang KUP yang ditujukan kepada kepala KPP Prataman Manado, atas nama perusahaan PT Cahya Gelora, nomor NPWP 03.347.468.5-821.000, beralamat Jl.A. Yani no. 5, Sario, Kota Manado, yang mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan SKPKB hasil pemeriksaan PPN, jenis pajak pertambahan nilai, tahun pajak 2016, tertanggal 03 april 2020.
Dimana, kejadian yang berawal dari kesalahan oleh pagawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) inisial TA yang sudah dipercayakan untuk mengurus semua kewajiban PT Cahya Gelora, tidak melakukan tugas dengan baik dan benar. Pihak perusahaan ternyata sudah membayar seluruh kewajiban pajak sampai pada bulan maret 2020. Sebelumnya pihak perusahaan sudah dilakukan pemeriksaan atas PPN masa maret 2016 dan diterbitkan SKPKB PPN dengan jumlah PPN kurang bayar hanya dari pajak keluaran yang telah kami laporkan pada SPT masa PPN maret 2016 sebelum pembetulan terakhir ke 2 dan juga faktur pajak tersebut telah diakui oleh lawan transaksi dalam SPT masanya. Padahal pada SPT masa PPN maret 2016 sebelum pembetulan terakhir tersebur kami juha telah memasukan unsur pajak masukan yang dapat dikreditkan, namun hal tersebut tidak diakui oleh KPP.
Bukan hanya itu saja, hal tersebut ternyata berlangsung selama 4 tahun berturut-turut, pihak perusahaan mengantongi faktur pajak fiktif. Terindikasi kerugian negara dalam kasus ini mencapain miliaran rupiah, namun terkesan hanya diam ditempat atau tida ada tindakan sama sekali.
Pihak Kantor Wilayah DJP Suluttenggo & Malut melalui salah staf DJP yang ditemui jumat pekan kemarin, belum bisa memberikan tanggapan. “Saya belum bisa kasih tanggapan karena belum ada arahan dari Pimpinan,” ucap Devid.
Kasus seperti ini sudah tidak lumrah lagi, dan sering terjadi. Dikutip dari salah media online Nasional. Dimana, statement Menteri Keuangan Sri Mulyani begitu tegas terhadap pelanggaran faktur pajak fiktif. Dimana sanksi administrasi denda yang dikenakan pada ketentuan sebelumnya hanya 3 kali lipat dari jumlah pajak pada faktur pajak. Dengan UU HPP, sanksi denda penghentian penyidikan tersebut menjadi lebih berat. “Dilakukan sanksi yang lebih berat di UU HPP karena ini sudah kriminal. Orang-orang yang membuat faktur pajak fiktif sehingga dia mengambil pajak orang lain atau tidak menyetorkan kepada negara,” tegas Sri Mulyani dikutip dari Media Online Nasional.
Meski sanksi denda atas pelanggaran Pasal 39A ditingkatkan, UU HPP ternyata menurunkan sanksi denda yang harus dibayar oleh wajib pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan akibat kealpaan sesuai dengan Pasal 38 UU KUP. Pada Pasal 44B ayat (2) huruf a UU KUP yang diubah dengan UU HPP, penghentian penyidikan terhadap wajib pajak yang melanggar Pasal 38 UU KUP dilakukan bila wajib pajak melunasi pokok pajak dan denda sebesar 1 kali dari pokok pajak yang kurang dibayar.
(Ndix)
Tinggalkan Balasan