MANADO, SororanNews.com — Politik pancasila mengajarkan setiap manusia sederajat dalam pandangan siapapun. Tak semata hanya memberlakukannya secara adil namun juga beradab. Bangsa yang kuat, bukanlah bangsa yang terpecah belah. Semangat para politisi meraih kekuasan tidak harus memporak-porandakan struktur sosial. Pancasila mengajarkan kita cara berdemokrasi dengan baik. Penegasan ini ditegaskan Akademisi Unsrat Manado Ferry Daud liando saat tampil sebagai narasumber dalam diskusi refleksi hari kesaktian Pancasila dan demokrasi yang di gelar GAMKI Minahasa, Rabu (1/06) di Moeder’s Tondano.

Menurut Liando, momentum hari kesaktian Pancasila yang dirayakan seluruh komponen bangsa memiliki nilai penting nan historical. Selain sebagai bagian dari penghayatan sejarah perjuangan bangsa yang menjadikan Pancasila sebagai dasar dalam bersikap bagi setiap anak bangsa. Peringatan hari kesaktian Pancasila juga mmengingatkan dan melestarikan Pancasila sebagai pemupuk rasa kemanusiaaan, dan rasa cinta tanah air sebagai komitmen memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

“Jika kita sepakat bahwa Pancasila sebagai instrument pemersatu, maka perayaan di tahun ini merupakan momentum yang paling berharga. Betapa tidak, rasa persatuan dan kebersamaan seakan mulai terkoyak belakangan ini. Nilai kemanuasiaan seakan mulai kehilangan makna. Sebagian mulai berani menampilkan sebuah identitas dengan memusuhi identitas lain. Memutarbalikan fakta dan kebenaran untuk sebuah motif tertentu,” ungkap Liando.

Berbagi potret buram perjalan peradaban di bangsa ini diutarakan akademisi yang concern terhadap isu-isu demokrasi dan kepemiluan itu sebagai refleksi penting pada momentum hari kesaktian Pancasila.

Diantaranya pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak bisa dikendalikan menyebabkan terjadinya persaingan dalam perebutan kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, lahan tinggal, lapangan pekerjaan, sarana transportasi, layanan pendidikan dan kesehatan.

Sejumlah peristiwa kriminal terungkap motif merampas lahan tinggal dan lahan usaha, merampok hanya karena sesuap nasi dan frustrasi karena kemacetan lalulintas. Kejahatan terjadi akibat pengangguran oleh sebab sulitnya mendapatkan pekerjaan. Banyak rakyat kecil terpaksa tidak terlayani dalam pelayanan pendidikan dan kesehatan secara baik karena fasilitas sangat terbatas.

Pertambahan jumlah penduduk yang sulit terkendali sesungguhnya tidak ada relevansinya dengan kewajiban penambahan jumlah jabatan publik, namun kenyataannya kondisi ini menjadi salah satu persoalan bangsa. Perebutan jabatan penting entah jabatan privat, publik, organisasi kemasyarakatan atau dalam jabatan-jabatan politik kerap berproses tidak manusiawi.

“Di sana ada persekongkolan, sogok menyogok, intimidasi, kolusi , dan nepotisme. Ironinya dalam hal perebutan jabatan keagamaan ditengarai kerap juga melakukan cara-cara demikian,” urainya.

Selain itu menurutnya hal yang paling lumrah terjadi diarena perebutan jabatan-jabatan politik. Prilaku yang dilakonkan para politisi seakan menyimpang jauh dari visi politik. Yang ada hanya soal adu kelicikan.

Sambungnya lagi perebutan kekuasan politik kerap dikotori dengan kebencian (hate speech), kebohongan, fitnah, adu domba, serta politik uang. Cara mendapatkan kekuasaan sama persis yang dilakukan atlet perenang gaya katak. Kedua tangan menyikut kearah samping kemudian dinaikkan keatas dan berusaha meraih apa yang ada diatas untuk didorong kebawah, sementara kepalanya dinaikkan keatas dan kedua kakinya selalu menendang kebawah.

Pihak yang bisa merebut kekuasaan adalah pihak yang mampu mengolah berita bohong menjadi sebuah fakta. Sementara yang kalah, adalah pihak yang belum profesional dalam mengelola kelicikan.

Jadilah Kontestasi kekuasaan hanya sebagai sarana adu kelicikan. Siapa yang tampil sebagai pemenang, tetap diterima, dipuji dan sanjung. Perlu dicari cara memaksa untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar moral bagi setiap politisi dalam berburu kekuasan.

Ideologi Pancasila harusnya kata Liando melekat dan menjiwai setiap warga negara terutama yang bagi yang mengendalikan kekuasaan. Semangat untuk mendapatkan dan menjalankan kekuasan politik wajib mendasarkannya pada moral agama dan Ketuhanan. Agama selalu mengajarkan soal kebenaran serta membedakannya dari kejahatan. Dengan Tuhan, tentu niat untuk mengorbankan dan memusnahkan ciptaanNya untuk sebuah ambisi kekuasan tentu tak perlu dilakukan.

“politik Pancasila mengajarkan setiap manusia sederajat dalam pandangan siapapun. Tak semata hanya memberlakukannya secara adil namun juga beradab. Bangsa yang kuat, bukanlah bangsa yang terpecah belah. Semangat para politisi meraih kekuasan tidak harus memporak-porandakan struktur sosial. Pancasila mengajarkan kita cara berdemokrasi dengan baik,” tegas Liando.

Perbedaan pandangan tidak bisa luput dari demokrasi karena demokrasi selalu identik dengan kompetisi. Namun demikian Pancasila mendorong sikap perbedaan itu dengan cara musyawarah dan kekeluargaan. Hanya dengan musyawarah, maka sebuah pihak saling memahami perbedaan masing-masing. Menghindari musyawarah dalam setiap perbedaan kerap memicu konflik, adu domba, intervensi pihak ketiga Serta memicu permusuhan sosial.

Sifat hakiki bagi seorang politisi dalam mengendalikan kekuasaan adalah memperlakukan setiap orang secara adil. Kekuasaan itu tidak hanya untuk diri sendiri atau kelompok orang disekitarnya. Kekuasan itu harus dijadikan instrumen membuat kebijakan untuk memecahkan persoalan yang dialami semua orang.

Banyak negara hancur berantakan karena para penguasa tidak memberlakukan pihak yang dipimpin secara adil ketika sedang berkuasa. Tak perlu mencari literatur sampai ke negeri Cina, cukup saja dengan memaknai dan mengimplentasikan Pancasila dalam setiap sikap, maka kita adalah pemimpin sebenarnya.

Diketahui diskusi DPD GAMKI Minahasa yang mengambil tema ‘Pancasila Rekat Kebangsaan Dalam Sekat Keberagaman’ itu juga menghadirkan narasumber lainnya Toar Palilingan Dosen Fakultas Hukum Unsrat Manado.

Tampak hadir Ketua DPD GAMKI Minahasa Helty rorimpandey, Ketua panitia Sarah Dondokambey, dan sejumlah perwakilan Cipayung dan organisasi pemuda gereja juga ikut menjadi peserta dalam kegiatan tersebut. (*)